Memimpin Dengan Seni
Memimpin Dengan Seni
Oleh : SUYITNO, S.Sos. (Camat Sruweng)
Secara umum, kita sudah tidak asing lagi dengan istilah bahwa “Kita Semua Adalah Pemimpin”. Pemimpin bagi diri sendiri, bagi keluarga, bagi kelompok, bagi organisasi baik formal maupun non formal. Hal ini telah sering kita dengar melalui berbagai macam kesempatan ataupun kegiatan. Ketika menerima pelajaran di sekolah, dalam acara pengajian, perkumpulan warga dan sebagainya.
Berperan sebagai pemimpin bagi diri sendiri maupun bagi kelompok, tentu berbeda. Masing-masing mempunyai karakter sendiri. Memimpin diri sendiri, hanya berhadapan pada satu sosok, yaitu diri kita masing-masing. Diperlukan sikap yang sangat mendasar, yaitu pengendalian diri. Ketika menghadapi suatu persoalan, di situ ada pertarungan kepentingan, yang harus kita selesaikan sendiri. Sementara dalam konteks memimpin kelompok atau organisasi, yang dihadapi adalah banyak sosok. Diri sendiri dan orang lain. Ketika sudah berkaitan dengan banyak sosok, maka bertambahlah sikap mendasar yang diperlukan, kecuali pengendalian diri. Sikap bijak, toleran, moderat, penguasaan masalah, memahami ketentuan peraturan dan komunikasi sangat vital keberadaannya.
Dari sekian sikap yang diperlukan, langkah konkrit yang dibutuhkan adalah “bagaimana meramu” sikap-sikap tersebut. Sehingga, hasil yang kita harapkan akan terwujud di dalam memimpin suatu kelompok atau organisasi. Kondisi riil akan dapat kita rasakan secara alamiah, yang menunjukkan apakah kita berhasil atau tidak dalam memimpin kelompok atau organisasi tersebut. Dua hal yang berlawanan akan nampak dengan sendirinya. Rasa nyaman, suasana gembira, wajah berseri-seri, senang melaksanakan pekerjaan, ada sikap saling membantu, komunikasi tidak tersumbat dan hal-hal positif lainnya, ini adalah pertanda bahwa ada keberhasilan dalam memimpin. Demikian juga sebaliknya.
Berhasil, merupakan dambaan dari setiap insan, termasuk pemimpin. Perlu dipahami dan dihormati, bahwa masing-masing punya versi keberhasilan. Sering kita temui pemahaman bahwa yang namanya berhasil adalah ketika seseorang bisa membangun hal-hal yang bersifat fisik. Tapi tidak jarang pula yang beranggapan bahwa berhasil adalah ketika seseorang dapat menciptakan situasi yang baik dalam organisasi yang dipimpinnya, walaupun tidak bersifat fisik. Kombinasi kedua hal tersebut sering menjadi keinginan untuk mewujudkannya.
Untuk meraih keberhasilan, setiap orang (termasuk pemimpin) mempunyai beragam cara yang ditempuh. Sangat mungkin ketika ada yang beranggapan bahwa cara yang keras, akan membuahkan keberhasilan. Juga tidak mustahil kelembutan akan menjadi kunci utama keberhasilan. Kedua hal di atas mempunyai dua konsekuensi yang sama. Keras dan lembut sama-sama bisa berhasil dan bisa gagal. Oleh karenanya, seorang pemimpin harus memiliki kepekaan terhadap situasi yang dihadapi. Lihat karakter manusianya, perhatikan waktunya dan gunakan cara yang tepat. Dalam situasi (konteks) yang seperti inilah muncul suatu anggapan bahwa “Memimpin adalah Seni”. Karena itu, nampaknya akan lebih enjoy bila “Memimpin dengan Seni”.
Kosa kata “seni” identik dengan keindahan, dalam berbagai tampilan yang bisa dirasakan oleh indra kita. Penglihatan, pendengaran, rasa, raba dan bau. Kalau kita melihat sesuatu yang nyaman dan penuh estetika di indra penglihatan kita, di situ ada nilai seni. Apa yang kita lihat, tentu juga beraneka macamnya. Bisa saja kita melihat bangunan gedung yang megah dan indah dipandang. Di samping teknologi konstruksi bangunan, ada pula relung-relung indah yang memanjakan mata kita. Demikian juga jalan. Bisa jadi lebar jalan sama, tapi ketika diolah dan ditata sedemikian rupa, maka akan tampak jalan itu begitu luas dan nyaman untuk kita pandang. Decak kagum dan terpesona tidak mustahil akan muncul tiba-tiba. Dari sisi pendengaran, intonasi kalimat ketika berbicara juga akan bisa menimbulkan kesan tersendiri. Alunan nada pun bisa merangkai suasana menjadi pesona yang menyejukkan. Begitu pula dengan rasa, raba dan bau.
Menganalogikan faktor keindahan dengan realita di lapangan, akan mempunyai dampak yang sangat berarti. Ketika seseorang diberi kepercayaan untuk memimpin sebuah institusi, maka dia harus segera menata diri. Secepatnya harus mengatur strategi. Merancang sebuah pola untuk mengelola institusi tersebut. Terlebih lagi apabila bidang tugasnya berkaitan dengan kewilayahan. Tentang wilayah, tentu harus dipahami beberapa hal yang menyertainya. Ada tipologi medan yang harus segera dikuasai. Karakter masyarakat yang berada di dalamnya. Budaya yang berlaku. Tingkat pendidikan dan pengetahuan yang dimiliki. Penghidupan dan mata pencaharian masyarakat dan lain-lain.
Adaptasi terhadap lingkungan baru, artinya tempat kerja maupun kewilayahan harus segera dilakukan. Sampaikan kepada publik tentang keberadaan kita, dengan cara yang santun dan bijak. Adakan dialog yang familiar. Jadikan setiap pertemuan sebagai ajang untuk saling bertukar pikiran, saling membantu, saling melengkapi dan saling mengisi. Upayakan agar tidak muncul sikap superior pada diri sang pemimpin. Dengarkan, hargai dan hormati setiap pembicaraan ataupun pendapat atau masukan yang disampaikan. Selanjutnya kita bahas dengan fair. Pada kesempatan itu sampaikan dengan baik ketentuan peraturan perundang-undangan sebagai pedoman dalam pembahasan. Untuk apa ? Agar tetap berada dalam koridor yang ditentukan.
Anjangsana ke setiap elemen masyarakat perlu dilakukan sesering mungkin. Hal ini dapat dilakukan melalui berbagai kesempatan. Bisa melalui pertemuan-pertemuan yang rutin dilakukan oleh warga, misal peringatan hari besar keagamaan. Media olah raga, misal pertandingan dan lomba-lomba yang diselenggarakan oleh warga. Hadir pada acara yang mereka laksanakan, adalah metode untuk menjalin komunikasi yang baik. Sisi positif yang kita harapkan adalah bahwa keberadaan kita diakui oleh mereka. Sebaliknya, kita pun menjadikan mereka sebagai bagian dari penunjang kesuksesan tugas kita.
Perilaku seorang pemimpin, harus benar-benar diupayakan secara proporsional. Rangkul semua pihak. Para tokoh agama dan tokoh masyarakat, agar kita junjung dengan sikap ta’dzim. Kepada para kaum ibu, muliakan kedudukannya. Kepada para pemuda, beri kesempatan pada mereka untuk berkiprah. Motivasi kita berikan. Pompa semangatnya untuk meraih masa depan. Perjalanan hidup ini agar diisi dengan hal-hal yang memberikan manfaat. Manfaatkan waktu dengan sebaik mungkin.
Memori yang terukir di hati masyarakat tentang seorang pemimpin, akan dapat dirasakan dengan sikap yang mereka tunjukkan. Kalau mereka berbicara dengan leluasa, tanpa terbebani oleh rasa takut, tapi tetap menjaga sopan santun, tata krama atau etika, maka berarti kita mendapat tempat di hati mereka. Apalagi ketika terjadi perpindahan tempat kerja. Moment itu juga bisa menjadi tolok ukur, tentang keberadaan kita.
Perjalanan waktu akan menunjukan apakah jalinan komunikasi ataupun silaturrahmi dan ikatan batin masih terjaga atau tidak. Ini acapkali terjadi ketika ada pertemuan yang spontan alias tidak direncanakan, terjadi. Sikap mereka, kalimat yang diucapkan dan permintaan atau harapan yang mereka sampaikan seringkali meluncur begitu saja. “Pak/Bu, Ya Alloh !! Saya tidak mengira hari ini bisa bertemu. Bagaimana kabar Bp/Ibu ? Semoga selalu sehat ya Pak/Bu ? Bp/Ibu kapan kembali ke wilayah kami ?”